Persis di tempat ini, dimana aku bersanding dengan kelabu nya langit malam, ditemani secangkir coklat panas di meja kecil, depan teras rumah. Sekelebat sambil terpikir, aku rindu sosok ibu. Namun, ternyata yang ku banggakan hanyalah seorang ayah.
Keluarga kecilku hanya separuh dari kata utuh, kedua pahlawan setiaku memilih jalannya masing-masing. Aku memang tidak mengerti, tapi tidak salah kan waktu balita aku menangis karena merindukan salah satu obat penenangnya, ibuku.
Memaklumi keadaan sudah menjadi jalan takdirku untuk menerima setiap perbedaan, bukan berarti hidup terasa hancur karena terlihat beda dengan keluarga yang masih utuh. Tetapi aku beruntung terlahir hendak mereka.
“Ayahku, Pahlawanku” terdengar klise, tapi itu memang benar. Seorang laki laki paruh baya yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tak tuntas kuliahnya sebab tersendat oleh ekonomi. Ia harus bekerja keras untuk membiayai semua kebutuhanku.
Setiap ayah harus pergi bekerja, aku dirawat sehari-harinya oleh nenek. Tentu tak heran jika aku sebut ia sebagai pahlawan, karena ia harus bertanggung jawab mencari uang pada saat matahari terbit hingga larut malam.
Aku belajar arti kebahagiaan sederhana yang dibuat olehnya, karena bahagia tak selalu dengan uang yang banyak. Seperti menonton film, banyak keluarga lain yang selalu menghabiskan waktu liburannya dengan pergi ke bioskop untuk menonton film yang sedang tayang. Namun bagiku dan ayah, pergi ke tempat sewa kaset dan menonton nya dirumah menjadi kebahagian tersendiri.
Tidak hanya itu, aku juga belajar arti berkecukupan, mungkin aku memang tidak bisa memakai barang yang banyak orang pakai, awalnya aku merasa geram dan kesal. Namun, setelah ayahku menjelaskan dengan penghasilannya yang ia dapat, sedikit demi sedikit aku mulai mengerti bahwa tidak semua yang dipakai orang harus aku ikuti.
Terkadang pakaian sehari-hariku hasil “thrifting” atau pakaian bekas di pasar Senen, jujur ia cukup handal dalam berburu pakaian bagus dan menawarnya. Ia memang menyukai barang-barang bekas antik dan impor. Dirumah pun banyak sekali koleksinya, mulai dari kaset-kaset, jam tangan, gimbot, action figure dan juga peralatan elektronik.
Sudah menjadi kemampuan bapak-bapak untuk mengutak-atik peralatan elektronik yang tidak terpakai menjadi berguna. Dan juga diriku, dia ingin merubah aku menjadi yang berguna, walaupun tak tamat kuliah, peran aku lah yang bisa mencapai keinginannya.
Ia tidak pernah menuntutku untuk memilih yang tidak sesuai dengan kemampuanku, karena menurut ayah, sesuatu hal yang tidak disepakati oleh kedua belah pihak tidak akan berjalan sesuai keinginan salah satunya. Ayah selalu membebaskanku dalam mengambil keputusan, namun semua nya masih didasari dengan batasan.
Mungkin banyak orang tua yang masih sangat mengatur anaknya untuk pulang dan pergi dan dekat dengan seseorang. Hal itu diwajarkan, karena setiap orang tua pasti khawatir dengan keberadaan anaknya, komunikasi menjadi aspek penting.
Tak jarang pula ayah mengingatkan waktu untuk segera pulang atau selesai bermain, seperti “Udah pulang belum ya, kabarin kalo pulang malam atau sore,” kadang juga ia minta nitip sesuatu barang “Pulang beliin pulpen faster ya,” baru saja sampai ke tempat tujuan, aku sudah diminta untuk membawa pulang sebuah pulpen.
Kehadiran ayah membuatku bersyukur, banyak pelajaran yang bisa diterapkan di kehidupanku, terutama kesederhanaannya. Ternyata kebahagiaan tidak perlu dengan keluarga yang utuh dan uang yang berlimpah, tetapi dengan hidup berkecukupan memberikan makna yang berarti.
Sudah tayang pada Kumparan.com
Posting Komentar